Disaster management

Standard

Saya bangun pagi ini dengan 2 kata menempel erat di dalam kepala; disaster management. Saya pikir mungkin karena Jakarta sedang banjir dan banyak yang terkena musibah di mana-mana, maka kata-kata ini mampir pagi-pagi di kepala saya. Saya mulai mencari sebab kedatangannya, merekonstruksi hari kemarin saya. Ternyata semalam saya tidak bicara mengenai masalah ini sama sekali, tidak pula menonton TV. Saya bersama beberapa teman malah bicara mengenai usia (topik yang untuk beberapa teman saya terasa memukul, berat!) dan mengenai imaji plus sanksi sosial serta standar moral sambil makan malam yang terlambat sekali. Kata-kata disaster management sepertinya begitu saja memutuskan untuk mampir dan nongkrong pagi-pagi di kepala saya, menemani saya pada cangkir kopi pertama. Dan begitulah, pagi-pagi kepala saya yang sedang sering menganggur belakangan ini menjadi sibuk dengan girangnya.

Kalau melihat dari artinya disaster management ini berarti semacam penanganan bencana, bagaimana menangani bencana pasti menjadi fokus utamanya. Maka saya dengan bersemangat mulai browsing untuk membaca lebih banyak mengenai topik ini. Ternyata bukan hanya sekedar itu, ada pemahaman yang lebih luas, disaster menagement, itu melingkupi pengorganisasian, pengelolaan, dan penanganan bencana, yang pada prakteknya akan berurusan dengan persiapan menghadapi bencana, berespon terhadapnya, serta pemulihan dari bencana. Tindakan yang dilakukan meliputi segala macam penanganan yang berhubungan dengan aspek kemanusiaan, bukan hanya masalah teknis, dalam rangka mengurangi dampak atau meringankan dampak dan kerugian akibat bencana serta memulihkan kondisi setelah bencana. Selain itu ternyata disaster management bukan hanya menangani bencana saja, tetapi juga keadaan-keadaan gawat darurat lainnya yang diakibatkan oleh peristiwa dengan potensi dampak berskala besar. Gila ya rasanya hidup di zaman semacam ini, ketika dalam waktu sekitar 15 menit saja saya berhasil mendapatkan informasi yang saya butuhkan dari internet. Saya angkat topi untuk para pendahulu dan generasi di atas saya yang tahu segala rupa tanpa internet.

Kalau menurut keterangan yang berhasil saya himpun, ada 4 macam tipe bencana atau keadaan darurat; 1)natural disasters, ini misalnya gempa, banjir, letusan gunung, badai, dan teman-temannya, 2)environmental emergencies, misalnya kebocoran reaktor nuklir, limbah pabrik, atau kebakaran hutan, 3)complex emergencies, meliputi antara lain runtuhnya instalasi strategis, sistem atau orde karena serangan terhadap institusi tertentu, keadaan konflik atau perang, dan yang terakhir 4)pandemic emergencies, keadaan yang melumpuhkan sebagai akibat dari wabah penyakit menular yang berdampak pada kerugian ekonomis dan sosial. Saya akan sekaligus berpanjang-panjang di pendahuluan ini dengan menceritakan langkah-langkah yang biasanya diambil dalam mengatasi bencana. Ada 4 langkah yang dipilih, secara garis besar mereka adalah 1)disaster prevention, yang tentu saja adalah serangkaian pencegahan, misalnya dengan rencana evakuasi, pengorganisasian penanganan korban dan lain sebagainya, 2)disaster preparedness, berbeda dengan pencegahan tindakan ini adalah serangkaian tindakan persiapan, misalnya mengosongkan area, mempersiapkan dan memfasilitasi proses penyelamatan dan rehabilitasi dengan tujuan mengurangi dampak kerugian dari bencana, kemudian 3)disaster relief, yang meliputi tindakan yang berefek panjang di masa setelah bencana, termasuk menyediakan lokasi tempat tinggal, memperbaiki sistem komunikasi dan transportasi, distribusi makanan dan air bersih, dan yang terakhir 4)disaster recovery, yang meliputi pembangunan kembali infrastruktur, penanganan trauma, rehabilitasi lingkungan, yang sebaiknya diiringi dengan rencana pembangunan jangka panjang.

Saya kok setelah menghimpun informasi di atas jadi tertawa-tawa. Bukan meremehkan peristiwa kebencanaan, tetapi justru karena menyadari betapa tepatnya semua hal tersebut jika diaplikasikan pada kehidupan mental yang terjadi di dalam ruang-ruang pribadi, seperti hati dan kepala. Kok? Jadi begini, hal-hal yang lebih sering membuat saya sibuk sebetulnya berpusat pada kegiatan di dalam ruang-ruang pribadi tersebut, bukan yang terjadi di luar. Karena saya berprinsip, apa-apa yang terjadi di luar ruang-ruang tersebut dapat ditanggulangi lebih cepat, karena segala hal yang bersifat fisik, menjadi cacat atau berkekurangan lebih mudah diperbaiki. Misalnya kekurangan uang, tinggal mencari pinjaman, rumah kebanjiran, tinggal diperbaiki. Sementara itu bagaimana mengatasi kekurangan ide, mati kreativitas, kehilangan daya hidup, kekurangan kasih sayang? Hal-hal ini lebih sulit diatasi. Biarlah orang-orang lain saja yang menulis mengenai penanggulangan bencana yang semacam itu, saya kurang paham caranya.

Bencana atau keadaan darurat yang terjadi pada ruang-ruang di dalam diri, hati dan kepala, kurang lebih punya karakteristik kebencanaan yang serupa. Bencana-bencana semacam ini kerap terjadi dalam keseharian hidup, dalam berbagai skala. Ambillah sebuah contoh, kekurangan ide misalnya. Menurut saya ini adalah jenis bencana yang masuk dalam kategori nomer 3, complex emergencies. Keadaan kebencanaan yang meliputi antara lain runtuhnya instalasi strategis, yaitu sistem berpikir dan berkreasi. Mungkin karena instalasi strategis yaitu hati dan kepala sedang menghadapi serangan kejenuhan yang akut dan membabi buta akibat sistem kerja yang kejar-tayang, atau akibat serangan lainnya yang berupa masalah-masalah emosional yang berkaitan dengan diri, masalah keluarga, urusan jatuh cinta, atau berjuta faktor lainnya yang berpotensi menyerang sistem imunitas kinerja pikir dan kreasi, atau sederhana saja, sedang mengurusi sebuah konflik yang (tak) berhubungan dengan pekerjaan dan kehidupan kreatif.

Menurut 4 langkah menghadapi dan mengatasi bencana, maka kita bisa membacanya sebagai berikut, 1)pencegahan, mungkin selama ini kita abai memperhatikan dan mendengarkan kebutuhan mental, lalai mengurusnya, tidak mengambil kesempatan liburan lebih sering alias rencana evakuasi, tak berhasil menganggarkan waktu luang yang memadai, kurang cermat menyediakan makanan spiritual, tak punya rencana senang-senang singkat misalnya, atau 2)tak melakukan persiapan, maksudnya tak mampu merencanakan waktu liburan, membuat anggaran liburan, tidak punya atau tak berhasil memelihara lingkaran pertemanan yang menyehatkan isi kepala dan hati dengan kata lain tidak punya rencana penyelamatan kilat. Bisa jadi pula kita kurang pandai dalam mengapresiasi diri, dan 3)tak punya atau tak mampu membina lingkaran pertemanan yang siap menampung kita dalam keadaan apapun, gagal membina ‘lokasi’ rehabilitasi karena gagal punya teman-teman baik, gagal surrounding yourself dengan energi positif yang didapat dari orang-orang dengan spirit yang sehat. Dan satu yang paling jelas adalah nomor 4)gagal punya rencana jangka panjang untuk menanggulangi hidup, kurang cermat merancang hal ini, tidak punya visi dalam bekerja, kurang pandai mereka-reka situasi di masa depan, atau karena kurang panjang berpikir dalam mengelola diri. 

Contoh aplikatif berikutnya yang lebih ekstrim misalnya, bencana bertepuk sebelah tangan (ha-ha!). Jelas-jelas ini adalah tipikal bencana yang masuk kategori natural disasters. Jatuh cinta adalah hal yang natural, seperti halnya bencana alam, demikian juga ditolak. Ketika memberi setiap orang menghadapi resiko yang sama, hanya ada dua, diterima atau ditolak, itu saja. Efek bencana ini terasa sebagai natural disaster, dapat dipahami, karena berpotensi melumpuhkan keseluruhan sistem operasional. Dan seperti halnya bencana alam, ia punya karakteristik tak terduga. Sekarang 4 langkah mengatasinya ya, 1)pencegahan, bukan berarti harus mencegah diri tak jatuh cinta, karena seperti halnya bencana alam, bukan bencana itu yang harus dicegah karena biasanya juga tak berdaya menolaknya, tetapi penataan sebelumnya diperlukan, misalnya ketika jatuh, usahakan dengan cara yang elegan dan landing landing di tempat yang empuk, atau usahakan jatuhnya tak terlalu keras terhempas, kemudian 2)persiapan, ini penting, momentum besar ini harus penuh persiapan, salah satunya ya itu tadi, memahami bahwa selalu ada resiko pemberian kita tak dapat diterima, atau mungkin persiapannya bisa berupa mekanisme defensif yang mementahkan rasa sakit melalui pembenaran-pembenaran sementara sambil membiarkan kenyataan pahit perlahan-lahan sinking in. Langkah berikutnya 3)relief, sama seperti peristiwa sebelumnya, dibutuhkan satu pasukan teman-teman yang siap menampung, yang akan menyediakan tempat bernaung sementara, menyediakan relief dan comfort  dan 4)recovery adalah tahap ketika segala pembenaran dan denial lewat, rencana strategis ke depan yang biasanya meliputi perbaikan jalur dan strategi komunikasi untuk kasus-kasus potensial berikutnya in search of love. Dramatis ya, hahahaha… Perhatikan baik-baik, jenis natural disaster ini dengan mudah berkomplikasi dengan kategori bencana nomer 3 complex emergencies. Jangan sampai punya konflik baru karena hal ini apalagi terlibat situasi perang!

Begitulah saudara-saudara, sibuknya kepala saya pagi ini, tak bisa ditunda, tak bisa dihalangi, seperti natural disaster. Suka seenak-enaknya menuntut waktu untuk disikapi dan ditindaklanjuti, karena sama seperti halnya beberapa karakteristik bencana, jika saya tidak menuangkannya segera pagi ini, efeknya mampu menimbulkan komplikasi beberapa kategori bencana sekaligus, misalnya dengan kategori nomor tiga, complex emergencies. Jadi sekali lagi, kalau ada yang membaca tulisan saya dan kemudian merasa tertipu karena judulnya, maaf. Bukan maksud saya mengecilkan nilai dan efek bencana terutama pada yang mengalaminya. It’s just simply because my mind is most of the time going different direction and most likely just wandering around by itself. Semoga kita semua terhindar dari bencana.

Di sela-sela bencana dan Obama ada bahasa

Standard

Belakangan ini saya jadi rajin menonton tv. Mula-mula karena bencana beruntun yang terjadi di negara ini, mulai dari tsunami di Mentawai dan kemudian meletusnya Merapi, serta 2 hari ini karena kedatangan Obama. Saya yang tadinya sudah putus asa terhadap tayangan-tayangan hiburan di televisi kali ini bertambah putus asa melihat tayangan dan liputan berita di televisi kita. Tayangan berita dan liputan bencana yang disampaikan oleh para reporter dan para pembaca berita di layar yang saya lihat, isinya ternyata lebih mementingkan sisi dramanya, sementara fakta seolah terlupakan begitu saja. Kalaupun fakta disampaikan, cara penyampaiannya terkesan terlalu berlebihan.

Ada beberapa hal yang saya temukan dari hasil menonton televisi lebih banyak di hari-hari belakangan ini ;
1. Informasi yang cenderung diulang-ulang dengan gaya dramatis berbeda-beda, sementara datanya selalu berubah-ubah, tidak pernah sama. Mulai dari reporter yang terdengar panik, terengah-engah, dan terbata-bata, ikut panik dengan kondisi seputar Merapi, sampai reporter yang bergaya setengah mati menaiki sepeda motor, berkaca mata hitam, dan berhenti mendadak di depan kamera, untuk memperlihatkan tebalnya debu Merapi di jalan-jalan di Jogja. Duuh.. ini bukan liputan hiburan, liburan, ataupun acara jalan-jalan, jadi jangan mementingkan gaya deh, kalau isi laporannya cerita lama, klasik, dan tidak ada yang baru.

Apa reporter-reporter ini tidak pernah dapat pelatihan, pendidikan, atau kursus ya dari stasiun televisi tempat mereka bekerja? Misalnya dalam bidang Public Speaking, yang biasanya mencakup cara mengatur nafas, mengatur jeda antar kalimat, mengatur ritme dan intonasi kalimat, pelafalan, sehingga berita yang disampaikan bisa didengar dengan jelas. Belum lagi reporter yang meliput live di Halim siang tadi. Kok terdengar seperti sedang menanti pacar datang, terengah-engah, terdengar over-excited, sehingga tidak bisa menyelesaikan kalimat dengan baik. Terdengar kurang fokus, sehingga selalu salah menyebut banyak hal. Seperti misalnya ; ‘Pesawat Air Force One sudah mendarat di hanggar.’ Hanggar? Bukannya hanggar itu garasinya pesawat terbang? Haduuuuh.. si Mbak ini pasti jarang sekali membaca sehingga pengetahuan umumnya menyedihkan sekali.

Saat meliput keadaan korban, suara mereka cenderung disedih-sedihkan, dibuat beriba-iba, dan ketika ada korban yang terlihat sengsara sepertinya girang dan kemudian mengeksposnya berlebihan. Belum lagi menambah-nambahkan komentar pribadi tentang betapa tidak beresnya penyelenggaraan bantuan atau penanganan korban, tanpa memperlihatkan bukti yang cukup. Sebagian besar reporter ini kelihatannya bangga sekali menemukan kerja-kerja tak beres dan kemudian berulang-ulang mempertunjukkannya, tanpa mencari tahu faktor penyebab di belakangnya atau tanpa lebih dahulu mencari nara sumber yang bisa memberikan informasi lebih mengenai kelalaian ini. Sepertinya senang sekali menemukan hal-hal yang buruk di lokasi bencana.

Saat meliput kedatangan Obama, reporter yang berada di Halim, yang terdengar terengah-engah dan kalimatnya tidak pernah selesai dengan baik tadi, malah cenderung menyampaikan informasi yang berlebihan. Sepanjang peristiwa ; pesawat mendarat, menunggu Obama muncul di pintu dan sampai berangkat menuju Istana negara, reporter yang sama menyuguhi penonton televisi dengan bermacam-macam informasi yang tidak penting, seperti berkali-kali menyebut tentang hujan, dan mempermasalahkan tidak adanya payung. Haduuh.. memangnya tidak ada yang lebih menarik dari itu? Sementara di sebuah stasiun lainnya saya sempat sesaat (terlalu sebentar) mendengarkan dialog menarik tentang interior pesawat Air Force One, tentang tata protokoler kunjungan tamu negara, dan tentang peran pesawat tempur yang mengawal pesawat kepresidenan. Tumben, ada juga informasi yang berharga yang disampaikan.

Oh ya, setelah Obama meninggalkan Halim, kamera kemudian berlama-lama menyoroti lapangan udara yang mulai kosong, sementara itu kru televisi lupa mematikan mikrofon, sehingga untuk beberapa saat terdengarlah percakapan antar kru yang tidak begitu penting itu. Yang lebih parah adalah, hal yang sama terulang saat televisi menyuguhkan gambar di seputar jalan Sudirman yang lengang, dengan hanya beberapa aparat negara di tepi jalan, kali ini saya betul-betul ingat kalimat kru yang rupanya juga lupa mematikan mikrofon : ‘Jadi siapa nih, yang mau beliin gw sepatu baru?’ Haaaaah… nggak pentiiiiing!

2. Selain penyajian, juga konten sekarang yang akan mendapat perhatian. Informasi yang disampaikan dalam liputan bencana tidak pernah tepat, dan cenderung berubah-ubah setiap menit, pada setiap reporter, dan terkadang bahkan pada reporter yang sama. Informasi ini kemudian diulang lagi oleh pembaca berita. Termasuk juga informasi rute yang akan dilalui Obama, jadwal kegiatannya, tidak ada yang benar-benar pasti, setiap waktu berubah-ubah. Kesannya seperti segerombolan orang yang meng-update statusnya melalui Facebook atau Twitter. Apa mereka semua tidak pernah punya catatan? Tidak pernah belajar mengumpulkan informasi dari pihak yang bisa dipercaya, menyortirnya, dan menyampaikannya dalam kalimat-kalimat yang baik, yang tidak terlalu panjang sehingga membingungkan?

Selain isinya membingungkan, kalimat-kalimat itu pun terkadang tidak punya subjek, tidak punya kata kerja, dan cenderung berantakan habis, karena tidak ada yang benar-benar memperhatikan jenis kata yang digunakan, kata kerjakah itu, kata benda, ataukah kata sifat? Di sela-sela kalimat yang serba cacat itu, mereka pun dengan teganya masih saja menambahkan istilah-istilah asing yang biasanya pengucapannya berlepotan, penggunaannya salah tempat dan tidak tepat, selalu diulang-ulang dan mencoba membuat kata-kata ini terdengar cukup keren. Apakah reporter dan pembaca berita ini tidak sadar, merekalah yang membawa bahasa, mereka yang punya potensi besar untuk didengarkan? Kok tidak ada yang memperhatikan pemakaian bahasa yang benar? Memalukan.

Belum lagi judul-judul liputan dan berita yang sering tampil di pojok kiri bawah layar televisi yang juga terkesan seperti sebuah status di Facebook atau Twitter. Tayangan berita di televisi menjadi tidak ada bedanya dengan tayangan infotainmen atau judul berita di koran-koran kelas dua yang sering menampilkan judul-judul bombastis. Coba perhatikan ; ‘Apa pentingnya Obama?’, atau ‘Kasihan Presiden Austria’. Judul kedua terkait dengan insiden yang terjadi saat kunjungan Presiden Austria siang hari sebelum kedatangan Obama. Saat harus menyarikan sambil menerjemahkan isi pidato Obama, saya perhatikan isinya yang ditampilkan di layar tidak benar-benar tepat dan terlalu sederhana. Coba juga perhatikan kecenderungan pembaca berita dan pembawa acara dialog dengan beberapa tokoh malam ini yang mengomentari makan malam resmi kenegaraan di istana. Isinya seolah-olah memancing-mancing komentar miring dengan mengulang-ulang hadirnya Megawati yang katanya hampir tidak pernah berada di dalam satu ruangan yang sama dengan SBY. Apa tidak ada hal lain yang lebih menarik untuk dibicarakan di kesempatan ini? Atau masalah yang diangkat dalam dialog sore ini, mengenai perbedaan kerja sama yang komprehensif dan kerja sama yang strategis, dan dengan mengulang-ulang bahwa Indonesialah mempromosikan istilah ini. Haddduuuh… apa pentingnya sih? Istilah itu bisa saja digunakan oleh siapa saja, dalam kesempatan apa saja lhoooo…. Menyedihkan.

Kapan kita bisa punya media yang mampu memberitakan dengan baik, kalau begini ini tayangan yang kita saksikan di televisi? Padahal sebagian besar kasus di atas terjadi di stasiun televisi yang meproklamirkan dirinya berspesialisasi dalam berita-berita aktual. Di mana kualitas? Stasiun yang mengkhususkan diri dalam berita bukan hanya sebuah stasiun yang mampu mengirim pasukan besar reporter ke mana-mana, bukan stasiun yang punya peralatan paling banyak dan paling canggih, bukan pula stasiun yang sering kali menyelenggarakan acara dialog-dialog saja. Sekali lagi, di mana kualitasnya? Apa gunanya punya banyak reporter banyak tapi kualitasnya buruk, bisa mengirim kru ke mana-mana dengan peralatan canggih tetapi gambar yang disajikan saat jamuan makan kenegaraan adalah gambar pilar putih besar di tengah-tengah layar selama 3 menit lebih?

Maka dari itu, teman-teman, atau siapa saja yang menyempatkan diri membaca tulisan ini, menurut saya, pendidikan, pendidikan dan pendidikanlah yang pertama-tama harus diutamakan. Apa hasilnya semua pendidikan dasar, menengah, dan bahkan pendidikan tinggi itu jika hal-hal basis yang seharusnya dikuasai menjadi terlantar? Hal-hal basis seperti berbahasa dengan baik dan benar, ini berarti penguasaan terhadap bahasa kita sendiri. Tidak cermatnya semua orang di lingkup pendidikan, termasuk para pengajar yang tidak mampu berbahasa dengan baik dan benar, dan malas mengoreksi serta lalai mendidik anak-anak didiknya dalam berbahasa, mengakibatkan cacat-cacat di atas terjadi. Latihan mengumpulkan informasi, menyarikan, menyunting, dan kemudian menyampaikannya kembali dalam bentuk yang lebih padat dan berisi ternyata tidak pernah dilakukan dengan benar. Hal-hal yang saya sebutkan di atas sepertinya remeh temeh, apalagi jika muncul di kelas bahasa, biasanya dianggap pelajaran yang membosankan. Pelajar dan juga mahasiswa malas berlatih menyampaikan informasi dalam bentuk yang kompak, yang padat, yang bernas dalam kalimat-kalimat simpel yang cerdas. Inilah hasilnya. Semua orang lupa bahwa berlatih menggunakan bahasa dengan baik, benar, dan cerdas berarti turut melatih logika, ketajaman berpikir, dan nalar.

Jadi, marilah mulai sekarang kita semua (terutama yang memiliki otoritas dan juga kesempatan untuk melakukannya) berlatih menggunakan bahasa dengan lebih baik, memperlakukan bahasa dengan lebih hormat, sehingga logika, pola pikir, dan penalaran bangsa ini berangsur-angsur berubah menjadi lebih baik.

P.S. Ini tulisan yang emosional, saya terlanjur sebal. Teman-teman saya, wartawan, reporter, pembawa/pembaca berita, dan juga penulis di luar sana, dari pada tersinggung lebih baik ikutan berbenah diri yaa.. Mahasiswa, mulailah sekarang sebelum terlalu terlambat!!

Jakarta these days, between disasters, para wartawan, pawang hujan dan kinerja pemerintah

Standard

Rabu, 27 Oktober 2010

Sudah beberapa hari ini dunia maya dan nyata gempar membicarakan kesengsaraan yang dialami di jalan-jalan Jakarta. Hampir setiap orang punya ceritanya masing-masing yang berhubungan dengan hujan lebat, banjir, dan kemacetan. Saya malas membahas ketiga hal tersebut. Sepanjang apapun tulisan ini tetap saja tidak akan mencakup kesengsaraan itu. Saya juga tidak akan membahas kira-kira penyebabnya apa. Saya rasa semua orang punya teorinya masing-masing mengenai hal ini, dan bukankah banyak ahli dan orang penting sudah bicara di mana-mana mengenai masalah ini.

Jadi mengapa saya menulis sekarang? Saya menulis karena terpancing dengan tayangan berita (mungkin dari kemarin sudah ditayangkan, tetapi seperti biasa saya selalu sedikit terlambat) pagi ini yang menampilkan gubernur Jakarta diwawancara di salah satu halte bus Trans Jakarta di daerah Jakarta Pusat. Apa tampilannya? Gubernur Jakarta sedang dirubung wartawan, diwawancara mengenai kemacetan luar biasa akibat banjir yang terjadi Senin malam. Dan seperti biasa, namanya juga wartawan, pertanyaan-pertanyaan mereka kemudian merembet ke mana-mana. Akibatnya? Sungguh tidak enak dilihat. Fauzi Bowo terlihat berusaha ramah, tetapi nada suara mulai naik. “Kemarin ada genangan air di seputar halte ini, sekitar 30 centimeter, tapi anda melaporkan 40 centimeter. Sekarang kita di sini, mana, mana genangan air itu? Saya tanya, mana, di mana genangannya? Anda liat nggak? Hah? Saya tanya, anda liat nggak?” Di telinga saya nada ini langsung terdengar menyebalkan. Perlu dicatat, kalimat-kalimat ini diucapkan dengan nada menyentak-nyentak yang cenderung semakin naik, dengan wajah berusaha ramah setengah tersenyum tetapi sudut bibir tidak bisa menipu, si Bapak pasti sedang sebaaal.. Apalagi kemudian para wartawan pun tersenyum-senyum, saling pandang. Inilah bagian kurang ajarnya wartawan, ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermutu dan benar-benar tidak perlu ditanyakan, diajukan dengan nada yang menuduh, dan dengan cara berdesak-desakkan sambil dorong-dorongan. Not a pretty sight.

Oh, saya belum selesai. Masih ada lagi. Saat seorang wartawan, pasti perempuan, menanyakan mengenai masalah banjir dan kemudian menyebut banjir di Bintaro, yang terjadi bahkan menurut saya lebih tidak enak lagi dilihat. “Banjir Bintaro? Itu masalah yang berbeda. Jangan disamakan dong. Itu kan karena tanggul yang jebol. Beda masalahnya. Air sih sama di mana-mana, Non, tapi ini kan masalah yang bedaaa.. Jangan disama-samakan dong!” Perhatikan lagi-lagi nada suara dan sudut bibir. Duh.. membela diri kok kedengarannya getir sekali. Sedih saya menonton berita ini. Apalagi pembawa berita kemudian menambahkan, “Panas, panas, panas ya.. kelihatannya. Hahahaha..” Whaaat?! Pembawa berita macam apa itu? Tidak ada bedanya dengan presenter acara gosip yang suka lebay. Pembawa berita kedua kemudian menambahkan, “Iya, sepertinya situasi memanas. Mungkin karena sebenarnya tidak tepat jika dikatakan pemerintah tidak melakukan apa pun. Sebenarnya pemerintah sudah bertindak, hanya saja belum berhasil, ya Pak?.” Sungguh-sungguh sedih saya melihat tontonan ini, masa sih pembawa berita mengeluarkan komentar-komentar semacam ini. Keseluruhan tontonan terlihat benar-benar seperti sebuah sandiwara anak-anak. Mungkin karena saya jarang sekali menonton televisi, jadi tidak terbiasa atau tidak terdidik untuk menjadi biasa. Harusnya saya lebih sering menonton sehingga tidak terlalu terheran-heran dengan gaya semacam ini.

Sekarang masalah konten ya. Ini tidak saya kutip, tapi kira-kira intinya beginilah, menurut gubernur Jakarta, banjir yang menyebabkan macet tersebut tidak ada hubungannya dengan kinerja pemerintah. Faktor utama adalah cuaca, dengan kata lain curah hujan yang cenderung berlebih di hari-hari belakangan ini dan hujan yang bisa saja turun sewaktu-waktu, maklum kan musim hujan. Well, menurut saya jika wartawan cukup cerdas, mereka bisa saja berkomentar balik, “Lho, itu kan masalah yang berbeda Pak. Masalah hujan itu kan gejala alam, musim itu memang sesuatu yang tidak bisa dikendalikan, tapi kan sudah ada prediksi dari jauh-jauh hari. Buat apa kita punya BMKG? Mengapa ini tidak atau terlambat diantisipasi?” Tapi yaah.. itulah masalahnya. Tidak ada yang cukup cerdas saat itu, baik para wartawan, reporter maupun pak Gubernur.

Haaaah.. Putus asa saya rasanya menonton ‘sepenggal sandiwara bodoh’ ini. Kapan kita bisa menanggulangi segala macam permasalahan di ibu kota ini (belum lagi di negara ini), kenapa kita lambat sekali menata diri dan berbenah, dan mengapa kita selalu saja tega membodohi diri sendiri dan orang lain? Kinerja pemerintah terkait hal ini akan tergantung sekali dengan pawang hujan. Apa kita harus mulai mengadakan pemilihan umum untuk mengumpulkan sepasukan pawang hujan canggih dan sakti untuk mengatur lalu lintas turunnya hujan, dan mendistribusi jumlah awan yang berpotensi menghasilkan hujan-hujan dahsyat?

Saat ini saya sedang menonton berita di televisi mengenai bencana meletusnya Merapi. Dan (lagi-lagi!) terpaksa mengurut dada melihat liputan-liputan yang ditayangkan sambil berharap media tidak akan berlebihan mengekspos rasa duka, kematian, kehilangan, dan kesengsaraan. Bukannya tidak boleh, sah-sah saja sebenarnya, hanya saja media kita terlalu suka pada drama. Hanya drama saja. Sementara data-data faktual yang penting cenderung terlewatkan. Informasi data faktual cenderung tidak bertambah, tetapi drama yang sama cenderung diulang-ulang, disampaikan dengan cara dan gaya yang berbeda, mulai dari nada suara yang disedih-sedihkan sampai yang menghujat dan menyalahkan pemerintah atas lambatnya bantuan. Hanya drama yang disajikan lengkap, komplit, dengan angle yang bermacam-macam.Ternyata kali ini pun saya (masih!) terlalu banyak berharap.

Ah, ya sudahlah, saya sudahi sampai di sini saja, kalau tidak saya akan menjadi berlarut-larut juga dalam drama. Sebentar lagi sudah harus bersiap-siap berangkat ke kantor. Jadi teman-teman, marilah kita berdoa dan berharap, saudara-saudara kita di Sumatra Barat dan di Jawa Tengah cepat mendapat bantuan, keadaan berangsur-angsur tertanggulangi, para sukarelawan diberikan kekuatan dan keselamatan. My heart goes to you, those who suffers in West Sumatra and Central Java, may God be with you, and may you find strength in each others. Dibandingkan dengan keadaan mereka, kesengsaraan kita di jalan-jalan Jakarta rasanya menjadi kurang berarti. Masalah kita rasanya menjadi sedikit remeh. Tetapi bukan berarti tidak harus diperbaiki. Jadi teman, marilah kita sama-sama berharap akan adanya perbaikan untuk Indonesia, jangan hanya menggantungkan harap pada pemerintah (dan juga media!), tetapi marilah kita juga bergerak, melakukan apa yang bisa dan pantas kita lakukan untuk bangsa ini.

P.S. Teman-teman saya yang kebetulan adalah wartawan, reporter di luar sana, please, please, please jangan terjebak di jurang yang sama ya, jangan menjadi seperti orang kebanyakan.