Saya bangun pagi ini dengan 2 kata menempel erat di dalam kepala; disaster management. Saya pikir mungkin karena Jakarta sedang banjir dan banyak yang terkena musibah di mana-mana, maka kata-kata ini mampir pagi-pagi di kepala saya. Saya mulai mencari sebab kedatangannya, merekonstruksi hari kemarin saya. Ternyata semalam saya tidak bicara mengenai masalah ini sama sekali, tidak pula menonton TV. Saya bersama beberapa teman malah bicara mengenai usia (topik yang untuk beberapa teman saya terasa memukul, berat!) dan mengenai imaji plus sanksi sosial serta standar moral sambil makan malam yang terlambat sekali. Kata-kata disaster management sepertinya begitu saja memutuskan untuk mampir dan nongkrong pagi-pagi di kepala saya, menemani saya pada cangkir kopi pertama. Dan begitulah, pagi-pagi kepala saya yang sedang sering menganggur belakangan ini menjadi sibuk dengan girangnya.
Kalau melihat dari artinya disaster management ini berarti semacam penanganan bencana, bagaimana menangani bencana pasti menjadi fokus utamanya. Maka saya dengan bersemangat mulai browsing untuk membaca lebih banyak mengenai topik ini. Ternyata bukan hanya sekedar itu, ada pemahaman yang lebih luas, disaster menagement, itu melingkupi pengorganisasian, pengelolaan, dan penanganan bencana, yang pada prakteknya akan berurusan dengan persiapan menghadapi bencana, berespon terhadapnya, serta pemulihan dari bencana. Tindakan yang dilakukan meliputi segala macam penanganan yang berhubungan dengan aspek kemanusiaan, bukan hanya masalah teknis, dalam rangka mengurangi dampak atau meringankan dampak dan kerugian akibat bencana serta memulihkan kondisi setelah bencana. Selain itu ternyata disaster management bukan hanya menangani bencana saja, tetapi juga keadaan-keadaan gawat darurat lainnya yang diakibatkan oleh peristiwa dengan potensi dampak berskala besar. Gila ya rasanya hidup di zaman semacam ini, ketika dalam waktu sekitar 15 menit saja saya berhasil mendapatkan informasi yang saya butuhkan dari internet. Saya angkat topi untuk para pendahulu dan generasi di atas saya yang tahu segala rupa tanpa internet.
Kalau menurut keterangan yang berhasil saya himpun, ada 4 macam tipe bencana atau keadaan darurat; 1)natural disasters, ini misalnya gempa, banjir, letusan gunung, badai, dan teman-temannya, 2)environmental emergencies, misalnya kebocoran reaktor nuklir, limbah pabrik, atau kebakaran hutan, 3)complex emergencies, meliputi antara lain runtuhnya instalasi strategis, sistem atau orde karena serangan terhadap institusi tertentu, keadaan konflik atau perang, dan yang terakhir 4)pandemic emergencies, keadaan yang melumpuhkan sebagai akibat dari wabah penyakit menular yang berdampak pada kerugian ekonomis dan sosial. Saya akan sekaligus berpanjang-panjang di pendahuluan ini dengan menceritakan langkah-langkah yang biasanya diambil dalam mengatasi bencana. Ada 4 langkah yang dipilih, secara garis besar mereka adalah 1)disaster prevention, yang tentu saja adalah serangkaian pencegahan, misalnya dengan rencana evakuasi, pengorganisasian penanganan korban dan lain sebagainya, 2)disaster preparedness, berbeda dengan pencegahan tindakan ini adalah serangkaian tindakan persiapan, misalnya mengosongkan area, mempersiapkan dan memfasilitasi proses penyelamatan dan rehabilitasi dengan tujuan mengurangi dampak kerugian dari bencana, kemudian 3)disaster relief, yang meliputi tindakan yang berefek panjang di masa setelah bencana, termasuk menyediakan lokasi tempat tinggal, memperbaiki sistem komunikasi dan transportasi, distribusi makanan dan air bersih, dan yang terakhir 4)disaster recovery, yang meliputi pembangunan kembali infrastruktur, penanganan trauma, rehabilitasi lingkungan, yang sebaiknya diiringi dengan rencana pembangunan jangka panjang.
Saya kok setelah menghimpun informasi di atas jadi tertawa-tawa. Bukan meremehkan peristiwa kebencanaan, tetapi justru karena menyadari betapa tepatnya semua hal tersebut jika diaplikasikan pada kehidupan mental yang terjadi di dalam ruang-ruang pribadi, seperti hati dan kepala. Kok? Jadi begini, hal-hal yang lebih sering membuat saya sibuk sebetulnya berpusat pada kegiatan di dalam ruang-ruang pribadi tersebut, bukan yang terjadi di luar. Karena saya berprinsip, apa-apa yang terjadi di luar ruang-ruang tersebut dapat ditanggulangi lebih cepat, karena segala hal yang bersifat fisik, menjadi cacat atau berkekurangan lebih mudah diperbaiki. Misalnya kekurangan uang, tinggal mencari pinjaman, rumah kebanjiran, tinggal diperbaiki. Sementara itu bagaimana mengatasi kekurangan ide, mati kreativitas, kehilangan daya hidup, kekurangan kasih sayang? Hal-hal ini lebih sulit diatasi. Biarlah orang-orang lain saja yang menulis mengenai penanggulangan bencana yang semacam itu, saya kurang paham caranya.
Bencana atau keadaan darurat yang terjadi pada ruang-ruang di dalam diri, hati dan kepala, kurang lebih punya karakteristik kebencanaan yang serupa. Bencana-bencana semacam ini kerap terjadi dalam keseharian hidup, dalam berbagai skala. Ambillah sebuah contoh, kekurangan ide misalnya. Menurut saya ini adalah jenis bencana yang masuk dalam kategori nomer 3, complex emergencies. Keadaan kebencanaan yang meliputi antara lain runtuhnya instalasi strategis, yaitu sistem berpikir dan berkreasi. Mungkin karena instalasi strategis yaitu hati dan kepala sedang menghadapi serangan kejenuhan yang akut dan membabi buta akibat sistem kerja yang kejar-tayang, atau akibat serangan lainnya yang berupa masalah-masalah emosional yang berkaitan dengan diri, masalah keluarga, urusan jatuh cinta, atau berjuta faktor lainnya yang berpotensi menyerang sistem imunitas kinerja pikir dan kreasi, atau sederhana saja, sedang mengurusi sebuah konflik yang (tak) berhubungan dengan pekerjaan dan kehidupan kreatif.
Menurut 4 langkah menghadapi dan mengatasi bencana, maka kita bisa membacanya sebagai berikut, 1)pencegahan, mungkin selama ini kita abai memperhatikan dan mendengarkan kebutuhan mental, lalai mengurusnya, tidak mengambil kesempatan liburan lebih sering alias rencana evakuasi, tak berhasil menganggarkan waktu luang yang memadai, kurang cermat menyediakan makanan spiritual, tak punya rencana senang-senang singkat misalnya, atau 2)tak melakukan persiapan, maksudnya tak mampu merencanakan waktu liburan, membuat anggaran liburan, tidak punya atau tak berhasil memelihara lingkaran pertemanan yang menyehatkan isi kepala dan hati dengan kata lain tidak punya rencana penyelamatan kilat. Bisa jadi pula kita kurang pandai dalam mengapresiasi diri, dan 3)tak punya atau tak mampu membina lingkaran pertemanan yang siap menampung kita dalam keadaan apapun, gagal membina ‘lokasi’ rehabilitasi karena gagal punya teman-teman baik, gagal surrounding yourself dengan energi positif yang didapat dari orang-orang dengan spirit yang sehat. Dan satu yang paling jelas adalah nomor 4)gagal punya rencana jangka panjang untuk menanggulangi hidup, kurang cermat merancang hal ini, tidak punya visi dalam bekerja, kurang pandai mereka-reka situasi di masa depan, atau karena kurang panjang berpikir dalam mengelola diri.
Contoh aplikatif berikutnya yang lebih ekstrim misalnya, bencana bertepuk sebelah tangan (ha-ha!). Jelas-jelas ini adalah tipikal bencana yang masuk kategori natural disasters. Jatuh cinta adalah hal yang natural, seperti halnya bencana alam, demikian juga ditolak. Ketika memberi setiap orang menghadapi resiko yang sama, hanya ada dua, diterima atau ditolak, itu saja. Efek bencana ini terasa sebagai natural disaster, dapat dipahami, karena berpotensi melumpuhkan keseluruhan sistem operasional. Dan seperti halnya bencana alam, ia punya karakteristik tak terduga. Sekarang 4 langkah mengatasinya ya, 1)pencegahan, bukan berarti harus mencegah diri tak jatuh cinta, karena seperti halnya bencana alam, bukan bencana itu yang harus dicegah karena biasanya juga tak berdaya menolaknya, tetapi penataan sebelumnya diperlukan, misalnya ketika jatuh, usahakan dengan cara yang elegan dan landing landing di tempat yang empuk, atau usahakan jatuhnya tak terlalu keras terhempas, kemudian 2)persiapan, ini penting, momentum besar ini harus penuh persiapan, salah satunya ya itu tadi, memahami bahwa selalu ada resiko pemberian kita tak dapat diterima, atau mungkin persiapannya bisa berupa mekanisme defensif yang mementahkan rasa sakit melalui pembenaran-pembenaran sementara sambil membiarkan kenyataan pahit perlahan-lahan sinking in. Langkah berikutnya 3)relief, sama seperti peristiwa sebelumnya, dibutuhkan satu pasukan teman-teman yang siap menampung, yang akan menyediakan tempat bernaung sementara, menyediakan relief dan comfort dan 4)recovery adalah tahap ketika segala pembenaran dan denial lewat, rencana strategis ke depan yang biasanya meliputi perbaikan jalur dan strategi komunikasi untuk kasus-kasus potensial berikutnya in search of love. Dramatis ya, hahahaha… Perhatikan baik-baik, jenis natural disaster ini dengan mudah berkomplikasi dengan kategori bencana nomer 3 complex emergencies. Jangan sampai punya konflik baru karena hal ini apalagi terlibat situasi perang!
Begitulah saudara-saudara, sibuknya kepala saya pagi ini, tak bisa ditunda, tak bisa dihalangi, seperti natural disaster. Suka seenak-enaknya menuntut waktu untuk disikapi dan ditindaklanjuti, karena sama seperti halnya beberapa karakteristik bencana, jika saya tidak menuangkannya segera pagi ini, efeknya mampu menimbulkan komplikasi beberapa kategori bencana sekaligus, misalnya dengan kategori nomor tiga, complex emergencies. Jadi sekali lagi, kalau ada yang membaca tulisan saya dan kemudian merasa tertipu karena judulnya, maaf. Bukan maksud saya mengecilkan nilai dan efek bencana terutama pada yang mengalaminya. It’s just simply because my mind is most of the time going different direction and most likely just wandering around by itself. Semoga kita semua terhindar dari bencana.