Di sela-sela bencana dan Obama ada bahasa

Standard

Belakangan ini saya jadi rajin menonton tv. Mula-mula karena bencana beruntun yang terjadi di negara ini, mulai dari tsunami di Mentawai dan kemudian meletusnya Merapi, serta 2 hari ini karena kedatangan Obama. Saya yang tadinya sudah putus asa terhadap tayangan-tayangan hiburan di televisi kali ini bertambah putus asa melihat tayangan dan liputan berita di televisi kita. Tayangan berita dan liputan bencana yang disampaikan oleh para reporter dan para pembaca berita di layar yang saya lihat, isinya ternyata lebih mementingkan sisi dramanya, sementara fakta seolah terlupakan begitu saja. Kalaupun fakta disampaikan, cara penyampaiannya terkesan terlalu berlebihan.

Ada beberapa hal yang saya temukan dari hasil menonton televisi lebih banyak di hari-hari belakangan ini ;
1. Informasi yang cenderung diulang-ulang dengan gaya dramatis berbeda-beda, sementara datanya selalu berubah-ubah, tidak pernah sama. Mulai dari reporter yang terdengar panik, terengah-engah, dan terbata-bata, ikut panik dengan kondisi seputar Merapi, sampai reporter yang bergaya setengah mati menaiki sepeda motor, berkaca mata hitam, dan berhenti mendadak di depan kamera, untuk memperlihatkan tebalnya debu Merapi di jalan-jalan di Jogja. Duuh.. ini bukan liputan hiburan, liburan, ataupun acara jalan-jalan, jadi jangan mementingkan gaya deh, kalau isi laporannya cerita lama, klasik, dan tidak ada yang baru.

Apa reporter-reporter ini tidak pernah dapat pelatihan, pendidikan, atau kursus ya dari stasiun televisi tempat mereka bekerja? Misalnya dalam bidang Public Speaking, yang biasanya mencakup cara mengatur nafas, mengatur jeda antar kalimat, mengatur ritme dan intonasi kalimat, pelafalan, sehingga berita yang disampaikan bisa didengar dengan jelas. Belum lagi reporter yang meliput live di Halim siang tadi. Kok terdengar seperti sedang menanti pacar datang, terengah-engah, terdengar over-excited, sehingga tidak bisa menyelesaikan kalimat dengan baik. Terdengar kurang fokus, sehingga selalu salah menyebut banyak hal. Seperti misalnya ; ‘Pesawat Air Force One sudah mendarat di hanggar.’ Hanggar? Bukannya hanggar itu garasinya pesawat terbang? Haduuuuh.. si Mbak ini pasti jarang sekali membaca sehingga pengetahuan umumnya menyedihkan sekali.

Saat meliput keadaan korban, suara mereka cenderung disedih-sedihkan, dibuat beriba-iba, dan ketika ada korban yang terlihat sengsara sepertinya girang dan kemudian mengeksposnya berlebihan. Belum lagi menambah-nambahkan komentar pribadi tentang betapa tidak beresnya penyelenggaraan bantuan atau penanganan korban, tanpa memperlihatkan bukti yang cukup. Sebagian besar reporter ini kelihatannya bangga sekali menemukan kerja-kerja tak beres dan kemudian berulang-ulang mempertunjukkannya, tanpa mencari tahu faktor penyebab di belakangnya atau tanpa lebih dahulu mencari nara sumber yang bisa memberikan informasi lebih mengenai kelalaian ini. Sepertinya senang sekali menemukan hal-hal yang buruk di lokasi bencana.

Saat meliput kedatangan Obama, reporter yang berada di Halim, yang terdengar terengah-engah dan kalimatnya tidak pernah selesai dengan baik tadi, malah cenderung menyampaikan informasi yang berlebihan. Sepanjang peristiwa ; pesawat mendarat, menunggu Obama muncul di pintu dan sampai berangkat menuju Istana negara, reporter yang sama menyuguhi penonton televisi dengan bermacam-macam informasi yang tidak penting, seperti berkali-kali menyebut tentang hujan, dan mempermasalahkan tidak adanya payung. Haduuh.. memangnya tidak ada yang lebih menarik dari itu? Sementara di sebuah stasiun lainnya saya sempat sesaat (terlalu sebentar) mendengarkan dialog menarik tentang interior pesawat Air Force One, tentang tata protokoler kunjungan tamu negara, dan tentang peran pesawat tempur yang mengawal pesawat kepresidenan. Tumben, ada juga informasi yang berharga yang disampaikan.

Oh ya, setelah Obama meninggalkan Halim, kamera kemudian berlama-lama menyoroti lapangan udara yang mulai kosong, sementara itu kru televisi lupa mematikan mikrofon, sehingga untuk beberapa saat terdengarlah percakapan antar kru yang tidak begitu penting itu. Yang lebih parah adalah, hal yang sama terulang saat televisi menyuguhkan gambar di seputar jalan Sudirman yang lengang, dengan hanya beberapa aparat negara di tepi jalan, kali ini saya betul-betul ingat kalimat kru yang rupanya juga lupa mematikan mikrofon : ‘Jadi siapa nih, yang mau beliin gw sepatu baru?’ Haaaaah… nggak pentiiiiing!

2. Selain penyajian, juga konten sekarang yang akan mendapat perhatian. Informasi yang disampaikan dalam liputan bencana tidak pernah tepat, dan cenderung berubah-ubah setiap menit, pada setiap reporter, dan terkadang bahkan pada reporter yang sama. Informasi ini kemudian diulang lagi oleh pembaca berita. Termasuk juga informasi rute yang akan dilalui Obama, jadwal kegiatannya, tidak ada yang benar-benar pasti, setiap waktu berubah-ubah. Kesannya seperti segerombolan orang yang meng-update statusnya melalui Facebook atau Twitter. Apa mereka semua tidak pernah punya catatan? Tidak pernah belajar mengumpulkan informasi dari pihak yang bisa dipercaya, menyortirnya, dan menyampaikannya dalam kalimat-kalimat yang baik, yang tidak terlalu panjang sehingga membingungkan?

Selain isinya membingungkan, kalimat-kalimat itu pun terkadang tidak punya subjek, tidak punya kata kerja, dan cenderung berantakan habis, karena tidak ada yang benar-benar memperhatikan jenis kata yang digunakan, kata kerjakah itu, kata benda, ataukah kata sifat? Di sela-sela kalimat yang serba cacat itu, mereka pun dengan teganya masih saja menambahkan istilah-istilah asing yang biasanya pengucapannya berlepotan, penggunaannya salah tempat dan tidak tepat, selalu diulang-ulang dan mencoba membuat kata-kata ini terdengar cukup keren. Apakah reporter dan pembaca berita ini tidak sadar, merekalah yang membawa bahasa, mereka yang punya potensi besar untuk didengarkan? Kok tidak ada yang memperhatikan pemakaian bahasa yang benar? Memalukan.

Belum lagi judul-judul liputan dan berita yang sering tampil di pojok kiri bawah layar televisi yang juga terkesan seperti sebuah status di Facebook atau Twitter. Tayangan berita di televisi menjadi tidak ada bedanya dengan tayangan infotainmen atau judul berita di koran-koran kelas dua yang sering menampilkan judul-judul bombastis. Coba perhatikan ; ‘Apa pentingnya Obama?’, atau ‘Kasihan Presiden Austria’. Judul kedua terkait dengan insiden yang terjadi saat kunjungan Presiden Austria siang hari sebelum kedatangan Obama. Saat harus menyarikan sambil menerjemahkan isi pidato Obama, saya perhatikan isinya yang ditampilkan di layar tidak benar-benar tepat dan terlalu sederhana. Coba juga perhatikan kecenderungan pembaca berita dan pembawa acara dialog dengan beberapa tokoh malam ini yang mengomentari makan malam resmi kenegaraan di istana. Isinya seolah-olah memancing-mancing komentar miring dengan mengulang-ulang hadirnya Megawati yang katanya hampir tidak pernah berada di dalam satu ruangan yang sama dengan SBY. Apa tidak ada hal lain yang lebih menarik untuk dibicarakan di kesempatan ini? Atau masalah yang diangkat dalam dialog sore ini, mengenai perbedaan kerja sama yang komprehensif dan kerja sama yang strategis, dan dengan mengulang-ulang bahwa Indonesialah mempromosikan istilah ini. Haddduuuh… apa pentingnya sih? Istilah itu bisa saja digunakan oleh siapa saja, dalam kesempatan apa saja lhoooo…. Menyedihkan.

Kapan kita bisa punya media yang mampu memberitakan dengan baik, kalau begini ini tayangan yang kita saksikan di televisi? Padahal sebagian besar kasus di atas terjadi di stasiun televisi yang meproklamirkan dirinya berspesialisasi dalam berita-berita aktual. Di mana kualitas? Stasiun yang mengkhususkan diri dalam berita bukan hanya sebuah stasiun yang mampu mengirim pasukan besar reporter ke mana-mana, bukan stasiun yang punya peralatan paling banyak dan paling canggih, bukan pula stasiun yang sering kali menyelenggarakan acara dialog-dialog saja. Sekali lagi, di mana kualitasnya? Apa gunanya punya banyak reporter banyak tapi kualitasnya buruk, bisa mengirim kru ke mana-mana dengan peralatan canggih tetapi gambar yang disajikan saat jamuan makan kenegaraan adalah gambar pilar putih besar di tengah-tengah layar selama 3 menit lebih?

Maka dari itu, teman-teman, atau siapa saja yang menyempatkan diri membaca tulisan ini, menurut saya, pendidikan, pendidikan dan pendidikanlah yang pertama-tama harus diutamakan. Apa hasilnya semua pendidikan dasar, menengah, dan bahkan pendidikan tinggi itu jika hal-hal basis yang seharusnya dikuasai menjadi terlantar? Hal-hal basis seperti berbahasa dengan baik dan benar, ini berarti penguasaan terhadap bahasa kita sendiri. Tidak cermatnya semua orang di lingkup pendidikan, termasuk para pengajar yang tidak mampu berbahasa dengan baik dan benar, dan malas mengoreksi serta lalai mendidik anak-anak didiknya dalam berbahasa, mengakibatkan cacat-cacat di atas terjadi. Latihan mengumpulkan informasi, menyarikan, menyunting, dan kemudian menyampaikannya kembali dalam bentuk yang lebih padat dan berisi ternyata tidak pernah dilakukan dengan benar. Hal-hal yang saya sebutkan di atas sepertinya remeh temeh, apalagi jika muncul di kelas bahasa, biasanya dianggap pelajaran yang membosankan. Pelajar dan juga mahasiswa malas berlatih menyampaikan informasi dalam bentuk yang kompak, yang padat, yang bernas dalam kalimat-kalimat simpel yang cerdas. Inilah hasilnya. Semua orang lupa bahwa berlatih menggunakan bahasa dengan baik, benar, dan cerdas berarti turut melatih logika, ketajaman berpikir, dan nalar.

Jadi, marilah mulai sekarang kita semua (terutama yang memiliki otoritas dan juga kesempatan untuk melakukannya) berlatih menggunakan bahasa dengan lebih baik, memperlakukan bahasa dengan lebih hormat, sehingga logika, pola pikir, dan penalaran bangsa ini berangsur-angsur berubah menjadi lebih baik.

P.S. Ini tulisan yang emosional, saya terlanjur sebal. Teman-teman saya, wartawan, reporter, pembawa/pembaca berita, dan juga penulis di luar sana, dari pada tersinggung lebih baik ikutan berbenah diri yaa.. Mahasiswa, mulailah sekarang sebelum terlalu terlambat!!

2 thoughts on “Di sela-sela bencana dan Obama ada bahasa

  1. Hahaha.. saya biasanya menyalakan tv hanya untuk menonton dvd. Tapi hal yang sama juga berlaku untuk segala macam situs berita di internet kok. Bahasanya tidak pernah benar, informasinya simpang siur. Prihatin, betul2 memprihatinkan.

  2. Saya malah tidak nonton tivi. Tahu berita hanya dari portal berita di internet saja, baik dari dalam maupun luar negeri. Nonton tivi-nya kalau mau nonton siaran langsung bola saja. 😀

Leave a comment